Selamat Datang di Berita Wilayah

'Berita Wilayah' disajikan kepada pembaca untuk memberikan informasi mengenai kondisi ekonomi-sosial wilayah-wilayah di Indonesia. Data statistik yang ditampilkan pada 'Berita Wilayah' ini dapat juga dilihat pada blog saya yang lain 'Ur Data Statistik' di http://www.beritawilayah-gofly2203.blogspot.com
Semoga informasi ini bermafaat untuk semua pembaca

Kamis, 19 Juni 2008

Produktivitas Tenagakerja Indonesia Turun?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tenagakerja yang bekerja pada tahun 2008 (kondisi Maret 2008) berjumlah 102.051,9 ribu orang. Bila dibandingkan dengan tahun 2007 (kondisi Maret 2007) telah terjadi kenaikan jumlah orang yang bekerja sebanyak 4.468,71 ribu orang (kenaikan sebesar 4,58 persen), yaitu kenaikan dari 97.583,14 ribu pada tahun 2007 menjadi 102.051,9 ribu pada tahun 2008. Kenaikan jumlah orang yang bekerja ini lebih banyak (dalam jumlah) dan lebih tinggi (dalam persentase) bila dibandingkan selama periode 2006-2007. Pada tahun 2006, jumlah tenagakerja yang bekerja adalah 95.177,1 ribu orang; yang berarti telah terjadi kenaikan sebanyak 2.406,04 ribu orang, yaitu dari 95.177,1 ribu (2006) menjadi 97.583,14 ribu (2007) atau meningkat 2,53 persen. Jadi, kenaikan jumlah tenagakerja meningkat, baik dalam jumlah maupun secara persentase: 4.468,71 ribu orang atau 4,58 persen selama periode 2007-2008 dibandingkan dengan 2.406,04 ribu atau 2,53 persen selama periode 2006-2007. Namun, kalau dilihat dari sisi lain, tingkat produktivitasnya turun, yaitu turun dari Rp 47 juta per tahun per tenagakerja menjadi Rp 27 juta per tahun per tenagakerja. Selama tahun 2006-2007 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,09 persen, dengan perkataan lain, telah terjadi kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan sebesar Rp 112.740,2 milyar. Bila kenaikan jumlah tenagakerja selama periode 2006-2007 adalah sebanyak 2.406,04 ribu orang, maka produktivitas yang dihasilkan oleh tambahan tenagakerja tersebut adalah sekitar Rp 47 juta (atas dasar harga konstan) per tahun per tenagakerja. Bandingkan dengan keadaan 2007-2008: dengan laju pertumbuhan ekonomi 2007-2008 (katakan) 6,28 persen (berdasarkan data triwulan I tahun 2008), maka kenaikan PDB Indonesia atas dasar harga konstan selama periode tersebut berjumlah Rp 123.337,6 milyar. Bila kenaikan jumlah tenagakerja selama 2007-2008 berjumlah 4.468,71 ribu orang, maka produktivitas tenagakerja Indonesia selama periode 2007-2008 adalah sekitar Rp 27,6 juta (atas dasar harga konstan) per tahun per tenagakerja. Dari perbandingan ini terlihat bahwa produktivitas tenagakerja Indonesia periode 2007-2008 turun (Rp 27,6 juta per tenagakerja per tahun) dibandingkan selama periode 2006-2007 (Rp 47 juta per tahun per tenagakerja).

Selasa, 17 Juni 2008

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2007

Ekonomi Indonesia pada tahun 2007 tumbuh 6,32 persen. Menurut banyak pihak, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini relatif tinggi. Namun dibalik dari itu, bila melihat kontribusi propinsi-propinsi terhadap laju pertumbuhan Indonesia, besaran 6,32 persen tersebut disumbang oleh DKI Jakarta (20,01 persen), Jawa Barat (19,22 persen), Jawa Timur (17,39 persen), Jawa Tengah (9,39 persen), Kalimantan Timur (3,25 persen), dan Sulawesi Selatan (2,43 persen), sehingga jumlah sumbangan keenam propinsi besar ini mencapai 71,69 persen. Dari fakta ini terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia 'hanya' didukung oleh sebagian kecil propinsi-propinsi yang ada di Indonesia, padahal di Indonesia terdapat 33 propinsi. Implikasinya adalah bahwa, untuk meningkatkan lagi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa-masa yang akan datang, perlu lebih meningkatkan peran propinsi-propinsi lain dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Atau, dengan kata lain, Indonesia perlu melakukan upaya-upaya penyebaran laju pertumbuhan ekonomi di seluruh propinsi Indonesia.

Selasa, 11 Maret 2008

Kita Butuh Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Lainnya

Beberapa fakta mengenai perkembangan perekonomian daerah (propinsi) adalah sebagai berikut. Ada daerah (propinsi) yang mampu berkembang (tumbuh) dengan cepat, seperti DKI Jakarta yang pada tahun 2007 tumbuh 6,39 persen. Ada daerah (propinsi) yang berkembang karena didukung oleh kondisi sumberdaya alamnya, seperti propinsi Riau yang tumbuh 3,41 persen pada tahun 2007. Tetapi ada juga daerah yang kurang atau belum mampu berkembang dengan baik karena masih terkendala dengan permasalahan daerah itu sendiri, seperti NAD yang tumbuh -2,21 persen pada tahun 2007. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena masing-masing daerah (propinsi) berkembang sesuai dengan kemampuan dan potensi yang ada atau tersedia di masing-masing daerah. DKI Jakarta berkembang cepat karena Jakarta merupakan daerah khusus ibukota dimana pusat pemerintahan berada, kegiatan-kegiatan bisnis beroperasi, dsb. Jadi, secara struktur dan infrastruktur DKI Jakarta terjamin, atau dengan perkataan lain: DKI Jakarta merupakan suatu pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu mendorong berbagai kegiatan ekonomi untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah (propinsi) merupakan aset dalam perkembangan perekonomian nasional. Kemajuan perekonomian daerah merupakan kemajuan perekonomian nasional karena wilayah nasional merupakan penjumlahan wilayah-wilayah (propinsi-propinsi). Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan perekonomian nasional harus tidak melupakan perkembangan perekonomian daerah (propinsi). Atau dengan perkataan lain, perkembangan perekonomian daerah adalah juga perkembangan ekonomi nasional. Kalau seandainya, daerah (daerah) lain juga dapat bertindak seperti Jakarta, yang dapat mendorong sektor-sektor ekonomi berkembang di masing-masing daerah, maka diharapkan kemajuan atau perkembangan ekonomi Indonesia akan dapat menjadi lebih baik pada masa-masa yang akan datang.
Fakta yang lain, perkembangan perekonomian daerah (propinsi) dapat juga terkendala karena adanya keterbatasan linkages (keterkaitan) antar daerah yang terjadi secara nasional. Sebagai contoh, kalau kita membangun Indonesia Bagian Timur (IBT), menurut hasil penelitian, maka hasil dari pembangunan di IBT itu akan kembali lagi ke Indonesia Bagian Barat (IBB), karena ternyata banyak resources yang digunakan untuk membangun IBT ternyata berasal dari IBB, seperti modal dan tenagakerja. Akibatnya, nilai tambah yang dihasilkan kembali lagi mengalir ke IBB, sementara yang tertinggal di IBT hanya sedikit; atau dengan perkataan lain: IBT yang membangun tapi IBB yang menikmati lebih banyak hasil-hasil pembangunan tersebut.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila porsi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2007 (khususnya pada triwulan IV) disumbang oleh IBB sekitar 85 persen.
Fakta tersebut menyatakan bahwa selama ini kita masih terpaku kepada suatu kekuatan pembangunan yang berkiblat kepada satu pusat pertumbuhan yang besar (big growth center), seperti DKI Jakarta; dan dampak dari kedua hal tersebut adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antar daerah (propinsi). Salah satu solusi dari hal ini adalah Indonesia perlu memperbanyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah (propinsi), tidak hanya di DKI Jakarta atau IBB, agar masing-masing daerah berkembang yang pada gilirannya juga akan meningkatkan perkembangan perekonomian nasional. Daerah (propinsi) merupakan aset dalam perkembangan perekonomian nasional. Kemajuan perekonomian daerah merupakan kemajuan perekonomian nasional karena wilayah nasional merupakan penjumlahan wilayah-wilayah (propinsi-propinsi). Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan perekonomian nasional harus tidak melupakan perkembangan perekonomian daerah (propinsi) karena perkembangan perekonomian daerah adalah juga perkembangan ekonomi nasional.

Jumat, 22 Februari 2008

Kontribusi Daerah dalam Pertumbuhan Ekonomi (2)

Berdasarkan data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2007 yang disiarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini, ekonomi Indonesia pada tahun 2007 tumbuh 6,32 persen, sedikit lebih tinggi dari target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah (sebesar 6,3 persen). Namun demikian, berdasarkan siaran pers BPS tersebut, bila ditinjau dari laju pertumbuhan year-on-year (y-on-y), yaitu laju pertumbuhan pada triwulan IV/2007 dibandingkan dengan triwulan IV/2006, terjadi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV tahun 2007, yaitu ekonomi tumbuh 6,25 persen pada triwulan IV/2007 dibandingkan dengan triwulan III/2007 dimana ekonomi tumbuh 6,51 persen. Dan bila ditinjau dari laju pertumbuhan ekonomi quarter-to-quarter (q-to-q), yaitu laju pertumbuhan triwulan IV/2007 dibandingkan dengan triwulan III/2007, terjadi laju pertumbuhan yang kontraksi, yaitu minus 2,15 persen yang ternyata lebih besar kontraksinya dibadingkan dengan laju pertumbuhan pada triwulan III/2007 (1,91 persen). Hal ini, disebabkan karena faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, antara lain, adalah naiknya harga minyak di pasar dunia, dan sebagai dampak dari kasus subprime-mortgage yang mengakibatkan perubahan dalam struktur biaya produksi di dalam negeri Indonesia dan permintaan (demand) terhadap produk-produk Indonesia. Faktor internal, antara lain, terjadi berbagai musibah (seperti banjir dsb) di beberapa daerah di Indonesia.
Pada sisi lain, berdasarkan siaran pers BPS tersebut, ekonomi Indonesia masih didominasi oleh perkembangan perekonomian di wilayah Jawa dan Sumatera. Kedua wilayah ini memberikan kontribusi terhadap total PDB Indonesia pada triwulan IV/2007 sebesar 81,37 persen, dengan rincian: Jawa (58,22 persen) dan Sumatera (23,15 persen). Jakarta sendiri menyumbang sebesar 15,88 persen terhadap total PDB Indonesia; Jawa Barat: 15,20 persen; Jawa Timur: 14,74 persen. Sisanya, disumbang oleh daerah lain di Indonesia. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa Jawa dan Sumatera (juga DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur) bisa dikatakan sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat dominan di Indonesia. Maka tidak mengherankan kalau wilayah-wilayah ini penuh sesak dengan orang-orang yang berebut untuk memperoleh penghasilan. Satu hal yang perlu dilakukan, misalnya, adalah untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di daerah-daerah lain. Kalimantan 'hanya' menyumbang 9,76 persen terhadap total PDB Indonesia; Sulawesi 'hanya' 4,32 persen. Kalau pusat-pusat pertumbuhan sudah banyak tersebar di wilayah-wilayah lain, di Kalimantan atau di Sulawesi, mudah-mudahan hal itu, selain untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga dapat memperluas kesempatan kerja dalam upaya mengurangi pengangguran.

Kamis, 21 Februari 2008

ICOR Beberapa Komoditas Hortikultura

Berikut ini hasil penghitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) 10 komoditas hortikultura. Besaran ICOR menunjukkan keterkaitan antara output dengan besarnya stok kapital: ICOR = ∆K/∆Y, dimana ∆K = tambahan stok kapital (change in capital stock), dan ∆Y = tambahan output (change in output). Karena ∆K=I, dimana I=investasi, maka besaran ICOR = I/∆Y. Dengan perkataan lain, I = ICOR*∆Y, artinya: kalau output ingin ditingkatkan sebesar ∆Y, maka dibutuhkan investasi sebesar ICOR*∆Y. Penghitungan besaran ICOR tersebut dilakukan dengan menggunakan data investasi (capital formation) dan data output 10 komoditas hortikultura yang terdapat pada data Produk Domestik Bruto (PDB) selama periode tahun 2000-2006. Data investasi dan output ke 10 komoditas hortikultura yang digunakan adalah data atas dasar harga konstan (tahun 2000), dengan maksud untuk mengeliminasi pengaruh perubahan harga dalam seri data yang digunakan. Dan karena data yang digunakan bersifat data seri waktu (time series data), maka besaran ICOR dapat dihitung ICOR=∑I/∑(∆Y). Kesimpulannya adalah sebagai berikut:

a. ICOR Indonesia adalah 5,09;

b. ICOR sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan adalah 2,51;

c. ICOR masing-masing ke 10 komoditas hortikultura adalah sebagai berikut: Jeruk (0,21), Pisang (2,36), Mangga (0,41), Manggis (0,55), Durian (0,39), Bawang Merah (4,32), Cabe Merah (0,13), Kentang (2,48), Anggerek (1,02), Rimpang (0,85).

Selasa, 12 Februari 2008

Di Riau: Masyarakat Gelas Bocor

Pada tahun 1995-an (mungkin juga sekarang), barang-barang seperti jam tangan dengan merek-merek terkenal, motor, parabola, TV, kulkas, dan sebagainya merupakan barang-barang yang tergolong 'luxury' bagi masyarakat miskin seperti masyarakat nelayan tradisional di propinsi Riau. Perilaku yang dicontohkan oleh para 'orang kaya' atau 'orang kota' dengan memiliki barang-barang tersebut merangsang masyarakat nelayan miskin untuk juga bisa memiliki barang-barang tersebut. Untuk dapat memenuhi keinginan mereka, maka setiap panen ikan, banyak masyarakat nelayan miskin yang membeli barang-barang tersebut, jam tangan dipakai dipergelangan tangan untuk bisa diperlihatkan kepada orang lain, parabola, TV, kulkas dipajang di rumah mereka yang relatif masih 'belum bagus'. Barang-barang tersebut dibeli dari para juragan/taoke ikan atau dari pihak-pihak lain yang menawarkan. Membeli barang untuk konsumsi memang bukan merupakan hal yang perlu dipermasalahkan, tetapi kalau membeli barang-barang 'luxury' sudah melampaui kemampuan keuangan dan kebutuhan para masyarakat nelayan miskin, ini yang menjadi masalah, karena secara ekonomi sudah tidak rasional lagi. Apalagi kalau barang-barang 'luxury' tersebut dibeli secara ijon dengan hasil tangkapan ikan mereka. Alasan mereka untuk ini, mereka sudah bosan dengan kemiskinan yang melanda hidup mereka, dan keinginan untuk dapat berperilaku sama dengan 'orang kaya' atau 'orang kota' sudah sangat merangsang mereka untuk memiliki barang-barang 'luxury' tersebut. Pada saat nelayan-nelayan tersebut berada dalam kesulitan keuangan, maka barang-barang 'luxury' tersebut dijual lagi, tentu dengan harga murah, kembali ke juragan/taoke atau mereka yang mau membeli kembali barang-barang tersebut. Dalam kasus ini, yang rugi adalah nelayan, hanya memiliki sesaat untuk memuaskan hasrat keinginan. Di propinsi Riau, kasus ini disebut sebagai ‘gelas bocor’, artinya: ibarat gelas, pada waktu panen gelas akan penuh, tapi pada waktu paceklik gelas akan kosong kembali. Jadi, jangan beli karena ingin, tapi beli karena butuh.

Minggu, 03 Februari 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN: 1996-2006

Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diperoleh data mengenai pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan di Indonesia selama periode 1996 sampai dengan 2006. Ketiga data tersebut disajikan oleh tabel berikut:

Tabel: Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi (dalam persentase): 7,8 (1996), 4,7 (1997), -13,1 (1998), 0,8 (1999), 4,9 (2000), 3,6 (2001), 4,5 (2002), 4,8 (2003), 5,1 (2004), 5,7 (2005), 5,5 (2006)
Pengangguran (dalam persentase): 4,9 (1996), 4,7 (1997), 5,5 (1998), 6,4 (1999), 6,1 (2000), 8,1 (2001), 9,1 (2002), 9,5 (2003), 9,9 (2004), 11,2 (2005), 10,3 (2006)
Kemiskinan (dalam persentase): 17,7 (1996), data tidak tersedia (1997), 24,2 (1998), 23,4 (1999), 19,1 (2000), 18,4 (2001), 18,2 (2002), 17,4 (2003), 16,7 (2004), 16,0 (2005), 17,7 (2006)
Catatan: laju pertumbuhan ekonomi dinyatakan dalam persentase, tingkat pengangguran dinyatakan dalam persentase jumlah penganggur terbuka terhadap jumlah angkatan kerja, dan jumlah penduduk miskin dinyatakan dalam persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk.

Dari ketiga seri data tersebut terlihat hubungan sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1996-2006 menunjukkan kondisi yang fluktuatif, khususnya selama periode sebelum tahun 2001, yaitu ekonomi tumbuh 7,8 persen pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1997 melambat menjadi 4,7 persen, dan pada waktu krisis ekonomi tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif (minus 13,1 persen). Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia tumbuh 0,8 persen, dan tahun 2000 4,9 persen. Setelah itu, khususnya sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006, terdapat tendensi adanya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, yaitu dari 3,6 persen pada tahun 2001 menjadi 5,5 persen pada tahun 2006.

2. Pengangguran terbuka menunjukkan tendensi yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 4,9 persen pada tahun 1996, meningkat menjadi 6,4 persen pada tahun 1999, 8,1 persen pada tahun 2001, dan 11,2 persen dan 10,3 persen masing-masing pada tahun 2005 dan 2006. Hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran tersebut menunjukkan: hipotesis bahwa pertumbuhan ekonomi akan mampu memperluas kesempatan kerja tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat ternyata diikuti juga oleh tingkat pengangguran yang meningkat. Kompilasi terhadap data laju pertumbuhan ekonomi dan jumlah tenagakerja menunjukkan adanya penurunan penyerapan jumlah tenagakerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2003-2004, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 339 ribu tenagakerja; pada tahun 2004-2005 turun menjadi 180 ribu tenagakerja; dan tahun 2005-2006: 113 ribu tenagakerja. Salah satu hipotesis mengapa hal ini terjadi adalah adanya tendensi peningkatan penggunaan perangkat-perangkat kerja yang berbasis teknologi padat modal oleh sektor-sektor ekonomi sehingga kurang mendukung perluasan kesempatan kerja, disamping adanya efek PHK (pemutusan hubungan kerja) sebagai dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.

3. Selama periode 1996 sampai dengan 2006, ternyata tingkat kemiskinan memberikan tendensi yang menurun. Pada tahun 1996 persentase jumlah penduduk miskin berjumlah 17,7 persen, kemudian terus turun menjadi 16,0 persen pada tahun 2005, tetapi naik kembali pada tahun 2006 menjadi 17,7 persen. Dari data pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan selama periode 1996-2005 terlihat adanya hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk miskin, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi berdampak kepada penurunan persentase jumlah penduduk miskin. Tetapi pada tahun 2006 tingkat kemiskinan meningkat (dari 16,0 persen pada tahun 2005 menjadi 17,7 persen pada tahun 2006) dan pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,7 persen pada tahun 2005 menjadi 5,5 persen pada tahun 2006.

Minggu, 27 Januari 2008

Saving-Investment Gap

Berdasarkan Neraca Arus Dana (Flows of Funds) yang dikompilasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), secara nasional pada tahun 2005 terdapat Saving-Investment Gap (S-I Gap) sebesar Rp 71,9 triliun. Hal ini berarti bahwa terdapat kelebihan saving di dalam negeri sebanyak Rp 71,9 triliun yang belum dapat dimanfaatkan untuk investasi. Kalau semua saving yang tersedia di dalam negeri dapat digunakan untuk membiayai investasi, maka S-I gap = 0. Rincian dari S-I gap yang mencapai Rp 71,9 triliun tersebut, terdiri dari: S-I gap pada rumahtangga sebesar Rp 158,3 triliun. Artinya: saving rumahtangga yang tidak dapat dimanfaatkan untuk investasi berjumlah Rp 158,3 triliun. S-I gap pada perusahaan: minus Rp 121,6 trilun. Artinya: perusahaan kekurangan dana sebesar Rp 121,6 triliun untuk membiayai investasinya. S-I gap bank sentral: Rp 16,6 triliun; dan S-I gap pemerintah: Rp 18,6 triliun. Sehubungan dengan S-I gap tersebut, perilaku masing-masing institusi adalah sebagai berikut: rumahtangga menarik tabungan (karena suku bunga tabungan kurang menarik) untuk memperbanyak deposito dan menambah simpanan dalam bentuk valuta asing (valas), untuk membeli surat-surat berharag seperti saham, obligasi. Fakta ini memberikan informasi mengapa setiap kali pemerintah mengeluarkan obilgasi seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI), habis terjual dan banyak dibeli oleh rumahtangga. (Catatan: sudah tentu ini gambaran sisi finansial rumahtangga secara umum. Kalau dirinci atas rumahtangga miskin dan rumahtangga kaya, sudah jelas perilaku tersebut, tidak mencerminkan perilaku rumahtangga miskin). Perusahaan: menerbitkan surat-surat berharga untuk membiayai investasinya, meminjam dana dari bank (kredit), tetapi perusahaan juga menggunakan dana sendiri untuk membiayai investasinya. Bank: ternyata kredit yang disalurkan oleh bank kepada para nasabah belum dapat dilaksanakan secara optimal (apakah hal ini disebabkan oleh karena suku bunga yang masih tinggi sehingga nasabah kurang berminat meminjam dari bank; atau karena rumahtangga atau perusahaan masih memiliki dana yang cukup sehingga tidak membutuhkan dana tambahan dari bank atau karena perusahaan merasa lebih menarik bila menggunakan instrumen finansial berupa menjual surat-surat berharga untuk membiayai investasinya?). Pemerintah: simpanan pemerintah dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan termasuk dalam bentuk obligasi meningkat. Luar negeri: meminjamkan dana dalam bentuk investasi finansial sebesar Rp 71,9 triliun (neto); Indonesia membayar hutang ke luar negeri sebesar Rp 24,49 triliun; tabungan valas Indonesia di luar negeri meningkat Rp 53,8 triliun. Jadi, secara umum, ekonomi Indonesia di sektor ril tumbuh sekitar 5,7% pada tahun 2005 (menurut BPS). Namun, sebenarnya masih dapat ditingkatkan karena masih terdapat excess liquidity (sebesar Rp 71,9 triliun: saving-investment gap) yang sebenarnya akan meningkatkan envestasi ril yang pada gilirannya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Sekitar Kelangkaan Minyak Tanah

Belakangan ini kita baca dari koran-koran bahwa minyak tanah sulit diperoleh. Banyak foto yang menggambarkan masyarakat antri untuk memperoleh minyak tanah.
Dari hasil pantauan di lapangan, terdapat indikasi bahwa beberapa penyebab langkanya minyak tanah adalah sebagai berikut:
1. Agen-agen hanya mendistribusikan minyak tanah ke pangkalan-pangkalan yang mau membeli minyak tanah dari agen dengan harga tinggi. Karena pangkalan-pangkalan tidak berani membeli minyak tanah dengan harga tinggi, maka minyak tanah menjadi langka di pasaran (tidak tersedia di pangkalan-pangkalan dimana biasanya masyarakat membeli minyak tanah). Lalu agen menjual minyak tanah tersebut ke pihak lain, misalnya ke industri-industri, dengan harga yang lebih tinggi tetapi masih di bawah harga untuk industri (prinsip mencari rente ekonomi).
2. Untuk dapat memperoleh supply minyak tanah yang lebih banyak, terdapat indikasi bahwa agen-agen mendaftarkan pangkalan-pangkalan mereka secara fiktif. Misalnya, satu agen mendaftarkan isterinya, anaknya, saudaranya sebagai pangkalan. Dengan demikian, agen akan memperoleh supply minyak tanah yang lebih banyak, dan kelebihan minyak tanah dapat dijual, misalnya, ke industri-industri dengan harga yang lebih tinggi.
Dari indikasi ini, dua hal yang perlu mendapat perhatian:
1. Pengawasan harga eceran minyak tanah perlu diperketat sehingga tidak ada agen atau pangkalan yang menjual minyak tanah dengan harga yang lebih tinggi. Harga minyak tanah perlu dikendalikan karena minyak tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kalau harga eceran terendah (HET) minyak tanah tidak diawasi, maka kemungkinan harga minyak tanah melambung tinggi menjadi sangat besar.
2. Pengawasan terhadap kebenaran pangkalan-pangkalan. Kalau jumlah pangkalan fiktif, maka bisa jadi jumlah minyak tanah yang disalurkan oleh pemerintah menjadi over-supply, melebihi kebutuhan (demand). Hal ini akan sangat merugikan pemerintah pada saat harga bahan bakar minyak (BBM) yang diimpor dari luar negeri sedang tinggi.

Senin, 21 Januari 2008

Kontribusi Daerah dalam Pertumbuhan Ekonomi (1)

Berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan II tahun 2007, ekonomi Indonesia tumbuh 6,28 persen (year-on-year). Dengan laju pertumbuhan tersebut Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh dari Rp 919,3 triliun (atas dasar harga berlaku) pada triwulan I tahun 2007 menjadi Rp 962,5 triliun (atas dasar harga berlaku) pada triwulan II tahun 2007. PDB merupakan suatu ukuran besarnya total produksi yang mampu dihasilkan selama suatu kurun waktu tertentu.
Namun, kontribusi daerah-daerah bagian timur Indonesia relatif masih rendah dalam pembentukan PDB Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah bagian barat Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, total PDB Indonesia pada triwulan II tahun 2007 berjumlah Rp 962,5 triliun. Dari total tersebut, pulau Jawa dan pulau Sumatera (daerah bagian barat Indonesia) memberikan kontribusi masing-masing sebesar 59,03 persen dan 22,79 persen terhadap total PDB Indonesia, atau sekitar 81,82 persen; sisanya disumbang oleh daerah-daerah lain, termasuk daerah-daerah belahan timur Indonesia (Kawasan Timur Indonesia, KTI). Dari data ini dapat diperlihatkan bagaimana kesenjangan kemampuan masing-masing daerah dalam menghasilkan PDB, yang secara nyata masih sangat didominasi oleh daerah-daerah Indonesia bagian barat (Kawasan Barat Indonesia, KBI). Namun yang menggembirakan, kesenjangan PDB secara umum di Indonesia cenderung berkurang. Hal ini ditandai dengan berkurangnya indek Williamson (yaitu suatu indek yang mengukur perbedaan suatu besaran, dalam hal ini besarnya PDB di masing-masing propinsi), yaitu dari 0,8690 (tahun 2004) menjadi 0,8365 (tahun 2006), walaupun masih menggambarkan kesenjangan yang cukup tinggi (indek Williamson hampir mendekati 1). Kesenjangan besarnya PDB di KBI lebih tinggi dibandingkan dengan di KTI, namun kesenjangan PDB di KBI menunjukkan tendensi yang turun, tetapi sebaliknya di KTI (lihat tabel berikut).
Tabel: Indek Williamson di KBI dan KTI
KBI: 0,7190 (2004); 0,6625 (2006)
KTI: 0,5091 (2004); 0,5449 (2006)
Indonesia: 0,8690 (2004); 0,8365 (2006)