Kamis, 19 Juni 2008
Produktivitas Tenagakerja Indonesia Turun?
Selasa, 17 Juni 2008
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2007
Selasa, 11 Maret 2008
Kita Butuh Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Lainnya
Fakta yang lain, perkembangan perekonomian daerah (propinsi) dapat juga terkendala karena adanya keterbatasan linkages (keterkaitan) antar daerah yang terjadi secara nasional. Sebagai contoh, kalau kita membangun Indonesia Bagian Timur (IBT), menurut hasil penelitian, maka hasil dari pembangunan di IBT itu akan kembali lagi ke Indonesia Bagian Barat (IBB), karena ternyata banyak resources yang digunakan untuk membangun IBT ternyata berasal dari IBB, seperti modal dan tenagakerja. Akibatnya, nilai tambah yang dihasilkan kembali lagi mengalir ke IBB, sementara yang tertinggal di IBT hanya sedikit; atau dengan perkataan lain: IBT yang membangun tapi IBB yang menikmati lebih banyak hasil-hasil pembangunan tersebut.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila porsi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2007 (khususnya pada triwulan IV) disumbang oleh IBB sekitar 85 persen.
Fakta tersebut menyatakan bahwa selama ini kita masih terpaku kepada suatu kekuatan pembangunan yang berkiblat kepada satu pusat pertumbuhan yang besar (big growth center), seperti DKI Jakarta; dan dampak dari kedua hal tersebut adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antar daerah (propinsi). Salah satu solusi dari hal ini adalah Indonesia perlu memperbanyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah (propinsi), tidak hanya di DKI Jakarta atau IBB, agar masing-masing daerah berkembang yang pada gilirannya juga akan meningkatkan perkembangan perekonomian nasional. Daerah (propinsi) merupakan aset dalam perkembangan perekonomian nasional. Kemajuan perekonomian daerah merupakan kemajuan perekonomian nasional karena wilayah nasional merupakan penjumlahan wilayah-wilayah (propinsi-propinsi). Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan perekonomian nasional harus tidak melupakan perkembangan perekonomian daerah (propinsi) karena perkembangan perekonomian daerah adalah juga perkembangan ekonomi nasional.
Jumat, 22 Februari 2008
Kontribusi Daerah dalam Pertumbuhan Ekonomi (2)
Pada sisi lain, berdasarkan siaran pers BPS tersebut, ekonomi Indonesia masih didominasi oleh perkembangan perekonomian di wilayah Jawa dan Sumatera. Kedua wilayah ini memberikan kontribusi terhadap total PDB Indonesia pada triwulan IV/2007 sebesar 81,37 persen, dengan rincian: Jawa (58,22 persen) dan Sumatera (23,15 persen). Jakarta sendiri menyumbang sebesar 15,88 persen terhadap total PDB Indonesia; Jawa Barat: 15,20 persen; Jawa Timur: 14,74 persen. Sisanya, disumbang oleh daerah lain di Indonesia. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa Jawa dan Sumatera (juga DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur) bisa dikatakan sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat dominan di Indonesia. Maka tidak mengherankan kalau wilayah-wilayah ini penuh sesak dengan orang-orang yang berebut untuk memperoleh penghasilan. Satu hal yang perlu dilakukan, misalnya, adalah untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di daerah-daerah lain. Kalimantan 'hanya' menyumbang 9,76 persen terhadap total PDB Indonesia; Sulawesi 'hanya' 4,32 persen. Kalau pusat-pusat pertumbuhan sudah banyak tersebar di wilayah-wilayah lain, di Kalimantan atau di Sulawesi, mudah-mudahan hal itu, selain untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga dapat memperluas kesempatan kerja dalam upaya mengurangi pengangguran.
Kamis, 21 Februari 2008
ICOR Beberapa Komoditas Hortikultura
Berikut ini hasil penghitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) 10 komoditas hortikultura. Besaran ICOR menunjukkan keterkaitan antara output dengan besarnya stok kapital: ICOR = ∆K/∆Y,
a. ICOR Indonesia adalah 5,09;
b. ICOR sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan adalah 2,51;
c. ICOR masing-masing ke 10 komoditas hortikultura adalah sebagai berikut: Jeruk (0,21), Pisang (2,36), Mangga (0,41), Manggis (0,55), Durian (0,39), Bawang Merah (4,32), Cabe Merah (0,13), Kentang (2,48), Anggerek (1,02), Rimpang (0,85).
Selasa, 12 Februari 2008
Di Riau: Masyarakat Gelas Bocor
Pada tahun 1995-an (mungkin juga sekarang), barang-barang seperti jam tangan dengan merek-merek terkenal, motor, parabola, TV, kulkas, dan sebagainya merupakan barang-barang yang tergolong 'luxury' bagi masyarakat miskin seperti masyarakat nelayan tradisional di propinsi Riau. Perilaku yang dicontohkan oleh para 'orang kaya' atau 'orang kota' dengan memiliki barang-barang tersebut merangsang masyarakat nelayan miskin untuk juga bisa memiliki barang-barang tersebut. Untuk dapat memenuhi keinginan mereka, maka setiap panen ikan, banyak masyarakat nelayan miskin yang membeli barang-barang tersebut, jam tangan dipakai dipergelangan tangan untuk bisa diperlihatkan kepada orang lain, parabola, TV, kulkas dipajang di rumah mereka yang relatif masih 'belum bagus'. Barang-barang tersebut dibeli dari para juragan/taoke ikan atau dari pihak-pihak lain yang menawarkan. Membeli barang untuk konsumsi memang bukan merupakan hal yang perlu dipermasalahkan, tetapi kalau membeli barang-barang 'luxury' sudah melampaui kemampuan keuangan dan kebutuhan para masyarakat nelayan miskin, ini yang menjadi masalah, karena secara ekonomi sudah tidak rasional lagi. Apalagi kalau barang-barang 'luxury' tersebut dibeli secara ijon dengan hasil tangkapan ikan mereka. Alasan mereka untuk ini, mereka sudah bosan dengan kemiskinan yang melanda hidup mereka, dan keinginan untuk dapat berperilaku sama dengan 'orang kaya' atau 'orang kota' sudah sangat merangsang mereka untuk memiliki barang-barang 'luxury' tersebut. Pada saat nelayan-nelayan tersebut berada dalam kesulitan keuangan, maka barang-barang 'luxury' tersebut dijual lagi, tentu dengan harga murah, kembali ke juragan/taoke atau mereka yang mau membeli kembali barang-barang tersebut. Dalam kasus ini, yang rugi adalah nelayan, hanya memiliki sesaat untuk memuaskan hasrat keinginan. Di propinsi Riau, kasus ini disebut sebagai ‘gelas bocor’, artinya: ibarat gelas, pada waktu panen gelas akan penuh, tapi pada waktu paceklik gelas akan kosong kembali. Jadi, jangan beli karena ingin, tapi beli karena butuh.
Minggu, 03 Februari 2008
PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN: 1996-2006
Tabel: Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi (dalam persentase): 7,8 (1996), 4,7 (1997), -13,1 (1998), 0,8 (1999), 4,9 (2000), 3,6 (2001), 4,5 (2002), 4,8 (2003), 5,1 (2004), 5,7 (2005), 5,5 (2006)
Pengangguran (dalam persentase): 4,9 (1996), 4,7 (1997), 5,5 (1998), 6,4 (1999), 6,1 (2000), 8,1 (2001), 9,1 (2002), 9,5 (2003), 9,9 (2004), 11,2 (2005), 10,3 (2006)
Kemiskinan (dalam persentase): 17,7 (1996), data tidak tersedia (1997), 24,2 (1998), 23,4 (1999), 19,1 (2000), 18,4 (2001), 18,2 (2002), 17,4 (2003), 16,7 (2004), 16,0 (2005), 17,7 (2006)
Catatan: laju pertumbuhan ekonomi
Dari ketiga seri data tersebut terlihat hubungan sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1996-2006 menunjukkan kondisi yang fluktuatif, khususnya selama periode sebelum tahun 2001, yaitu ekonomi tumbuh 7,8 persen pada tahun 1996, kemudian pada tahun 1997 melambat menjadi 4,7 persen, dan pada waktu krisis ekonomi tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif (minus 13,1 persen). Pada tahun 1999, ekonomi
2. Pengangguran terbuka menunjukkan tendensi yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 4,9 persen pada tahun 1996, meningkat menjadi 6,4 persen pada tahun 1999, 8,1 persen pada tahun 2001, dan 11,2 persen dan 10,3 persen masing-masing pada tahun 2005 dan 2006. Hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran tersebut menunjukkan: hipotesis bahwa pertumbuhan ekonomi akan mampu memperluas kesempatan kerja tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat ternyata diikuti juga oleh tingkat pengangguran yang meningkat. Kompilasi terhadap data laju pertumbuhan ekonomi dan jumlah tenagakerja menunjukkan adanya penurunan penyerapan jumlah tenagakerja untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2003-2004, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 339 ribu tenagakerja; pada tahun 2004-2005 turun menjadi 180 ribu tenagakerja; dan tahun 2005-2006: 113 ribu tenagakerja. Salah satu hipotesis mengapa hal ini terjadi adalah adanya tendensi peningkatan penggunaan perangkat-perangkat kerja yang berbasis teknologi padat modal oleh sektor-sektor ekonomi sehingga kurang mendukung perluasan kesempatan kerja, disamping adanya efek PHK (pemutusan hubungan kerja) sebagai dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
3. Selama periode 1996 sampai dengan 2006, ternyata tingkat kemiskinan memberikan tendensi yang menurun. Pada tahun 1996 persentase jumlah penduduk miskin berjumlah 17,7 persen, kemudian terus turun menjadi 16,0 persen pada tahun 2005, tetapi naik kembali pada tahun 2006 menjadi 17,7 persen. Dari data pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan selama periode 1996-2005 terlihat adanya hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk miskin, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi berdampak kepada penurunan persentase jumlah penduduk miskin. Tetapi pada tahun 2006 tingkat kemiskinan meningkat (dari 16,0 persen pada tahun 2005 menjadi 17,7 persen pada tahun 2006) dan pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,7 persen pada tahun 2005 menjadi 5,5 persen pada tahun 2006.
Minggu, 27 Januari 2008
Saving-Investment Gap
Sekitar Kelangkaan Minyak Tanah
Dari hasil pantauan di lapangan, terdapat indikasi bahwa beberapa penyebab langkanya minyak tanah adalah sebagai berikut:
1. Agen-agen hanya mendistribusikan minyak tanah ke pangkalan-pangkalan yang mau membeli minyak tanah dari agen dengan harga tinggi. Karena pangkalan-pangkalan tidak berani membeli minyak tanah dengan harga tinggi, maka minyak tanah menjadi langka di pasaran (tidak tersedia di pangkalan-pangkalan dimana biasanya masyarakat membeli minyak tanah). Lalu agen menjual minyak tanah tersebut ke pihak lain, misalnya ke industri-industri, dengan harga yang lebih tinggi tetapi masih di bawah harga untuk industri (prinsip mencari rente ekonomi).
2. Untuk dapat memperoleh supply minyak tanah yang lebih banyak, terdapat indikasi bahwa agen-agen mendaftarkan pangkalan-pangkalan mereka secara fiktif. Misalnya, satu agen mendaftarkan isterinya, anaknya, saudaranya sebagai pangkalan. Dengan demikian, agen akan memperoleh supply minyak tanah yang lebih banyak, dan kelebihan minyak tanah dapat dijual, misalnya, ke industri-industri dengan harga yang lebih tinggi.
Dari indikasi ini, dua hal yang perlu mendapat perhatian:
1. Pengawasan harga eceran minyak tanah perlu diperketat sehingga tidak ada agen atau pangkalan yang menjual minyak tanah dengan harga yang lebih tinggi. Harga minyak tanah perlu dikendalikan karena minyak tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Kalau harga eceran terendah (HET) minyak tanah tidak diawasi, maka kemungkinan harga minyak tanah melambung tinggi menjadi sangat besar.
2. Pengawasan terhadap kebenaran pangkalan-pangkalan. Kalau jumlah pangkalan fiktif, maka bisa jadi jumlah minyak tanah yang disalurkan oleh pemerintah menjadi over-supply, melebihi kebutuhan (demand). Hal ini akan sangat merugikan pemerintah pada saat harga bahan bakar minyak (BBM) yang diimpor dari luar negeri sedang tinggi.
Senin, 21 Januari 2008
Kontribusi Daerah dalam Pertumbuhan Ekonomi (1)
Namun, kontribusi daerah-daerah bagian timur Indonesia relatif masih rendah dalam pembentukan PDB Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah bagian barat Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, total PDB Indonesia pada triwulan II tahun 2007 berjumlah Rp 962,5 triliun. Dari total tersebut, pulau Jawa dan pulau Sumatera (daerah bagian barat Indonesia) memberikan kontribusi masing-masing sebesar 59,03 persen dan 22,79 persen terhadap total PDB Indonesia, atau sekitar 81,82 persen; sisanya disumbang oleh daerah-daerah lain, termasuk daerah-daerah belahan timur Indonesia (Kawasan Timur Indonesia, KTI). Dari data ini dapat diperlihatkan bagaimana kesenjangan kemampuan masing-masing daerah dalam menghasilkan PDB, yang secara nyata masih sangat didominasi oleh daerah-daerah Indonesia bagian barat (Kawasan Barat Indonesia, KBI). Namun yang menggembirakan, kesenjangan PDB secara umum di Indonesia cenderung berkurang. Hal ini ditandai dengan berkurangnya indek Williamson (yaitu suatu indek yang mengukur perbedaan suatu besaran, dalam hal ini besarnya PDB di masing-masing propinsi), yaitu dari 0,8690 (tahun 2004) menjadi 0,8365 (tahun 2006), walaupun masih menggambarkan kesenjangan yang cukup tinggi (indek Williamson hampir mendekati 1). Kesenjangan besarnya PDB di KBI lebih tinggi dibandingkan dengan di KTI, namun kesenjangan PDB di KBI menunjukkan tendensi yang turun, tetapi sebaliknya di KTI (lihat tabel berikut).
Tabel: Indek Williamson di KBI dan KTI
KBI: 0,7190 (2004); 0,6625 (2006)
KTI: 0,5091 (2004); 0,5449 (2006)
Indonesia: 0,8690 (2004); 0,8365 (2006)